PENDAHULUAN
Pada bahasan sebelumnya tepatnya tanggal 22 Februri 2018, kita telah membahas tentang penggunaan NPV sebagai pengendalian serangan hama ulat api, maka pada bahasan kali ini kita membahas penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai agen hayati dalam pengendalian serangan hama ulat. Salah satu hama yang banyak menyerang tanaman pertanian adalah dari jenis serangga seperti ulat, larva kumbang, dan lalat buah. Serangga tersebut dapat memakan daun, menggerogoti batang dan akar, maupun membusukkan buah. Petani biasanya menggunakan pertisida untuk mengendalikan serangga tersebut. Penyemprotan pestisida dapat mematikan serangga karena efek zat kimia beracun yang dikandungnya. Zat kimia dalam pertisida memang terbukti efektif dalam membasmi serangga, namun hal ini menimbulkan masalah baru karena zat kimia dalam pestisida juga beracun bagi manusia dan hewan lain apabila terakumulasi di dalam tubuh.
Penggunaan bahan pembasmi serangga yang efektif dan tidak membahayakan organisme lain terus berkembang dalam dunia pertanian. Salah satu penemuan yang cukup efektif untuk membasmi serangga pengganggu namun aman bagi organisme yang lain terutama manusia adalah penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis dalam pertanian. Penggunaan bakteri ini telah dikenal di Amerika Serikat sejak awal tahun 1960-an. Namun di Indonesia bakteri ini belum umum digunakan karena belum dikenal luas di kalangan petani, terutama petani tradisional
Bacillus thuringiensis atau biasa disingkat dengan BT merupakan bakteri yang mampu menghasilkan zat kimia yang beracun bagi serangga. Secara alami, bakteri ini terdapat di dalam tanah, pada serangga, maupun pada permukaan tanaman. BT yang dimakan serangga akan mengeluarkan racun yang mematikan dalam sistem pencernaan serangga. Oleh karena itu BT biasanya disemprotkan pada permukaan tanaman yang menjadi makanan serangga pengganggu. Serangga yang memakan daun, bunga, atau buah yang telah disemprot akan mati setelah beberapa waktu karena keracunan dan infeksi. Serangga muda/immature lebih rentan terhadap serangan racun BT dibandingkan dengan serangga dewasa.
Beberapa subspesies BT dikenal menghasilkan racun yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Telah dikenal BT yang menghasilkan racun spesifik terhadap kupu-kupu, ngengat, nyamuk, lalat, dan kumbang. Hewan-hewan lain seperti ikan, kadal, mupun burung tidak akan terpengaruh dengan racun BT. Manusia yang memakan tanaman yang telah disemprot BT juga tidak akan mengalami gangguan atau keracunan karena racunnya hanya berdampak pada serangga.
BT yang digunakan sebagai pembasmi serangga biasanya merupakan hasil pembiakan secara invitro di laboratorium. Dengan medium tertentu akan dihasilkan BT dalam jumlah banyak yang dapat digunakan untuk menyemprot tanaman setelah diencerkan. Penggunaan BT dapat digunakan sebagai alternatif membasmi serangga yang tidak membahayakan organisme lain, sebagai pengganti penggunaan pestisida yang berbahaya.
DESKRIPSI
Bacillus thuringiensis adalah bakteri gram-positif, berbentuk batang, yang tersebar secara luas di berbagai negara. Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi. Saat sporulasi terjadi, tubuhnya akan terdiri dari protein Cry yang termasuk ke dalam protein kristal kelas endotoksin delta. Apabila serangga memakan toksin tersebut maka serangga tersebut dapat mati. Oleh karena itu, protein atau toksin Cry dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami.
B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun 1998) berdasarkan serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri ini yang membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah kemampuan membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP disandikan oleh DNA plasmid yang dapat ditransfer melalui konjugasi antargalur B. thuringiensis , maupun dengan bakteri lain yang berhubungan. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan bermacam-macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat membentuk beta-eksotoksi yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia dan insekta.
B. thuringiensis dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry) dan toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat toksin Cry sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam mengontrol insekta. Lebih dari 50 gen penyandi toksin Cry telah disekuens dan digunakan sebagai dasar untuk pengelompokkan gen berdasarkan kesamaan sekuens penyusunnya.
SISTEM SERANGAN TOXIN
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.
Toksin Cry sebenarnya merupakan protoksin, yang harus diaktifkan terlebih dahulu sebelum memberikan efek negatif. Aktivasi toksin Cry dilakukan oleh protease usus sehingga terbentuk toksin aktif dengan bobot 60 kDA yang disebut delta-endotoksin. Delta-endotoksin ini diketahui terdiri dari tiga domain. Toksin tersebut tidak larut pada kondisi normal sehingga tidak membahayakan manusia, hewan tingkat tinggi, dan sebagian insekta. Namun. pada kondisi pH tinggi (basa) seperti yang ditemui di dalam usus lepidoptera, yaitu di atas 9.5, toksin tersebut akan aktif. Selanjutnya, toksin Cry akan menyebabkan lisis (pemecahan) usus lepidoptera.
B. thuringiensis berpotensi tinggi mengandung protein. Setelah ulat makan daun yang disemprot insektisida ini 0,5 – 2 jam kemudian akan berhenti makan dan paling lama 2 hari akan mati. Insekt isida biologi ini hanya mematikan larva tidak menimbulkan masalah terhadap musuh– musuh ulat seperti predator dan parasit sehingga pengendalian hayati tidak terganggu walaupun dilakukan secara terus menerus. Ulat yang terserang menjadi malas, bahkan menjadi tidak berwarna dan lemas, setelah mati mereka menghasilkan bau busuk. Sel – sel bakteri mengadung satu kristal protein racun demikian juga dalam sporanya. Jika terlarut dalam tubuh serangga kristal ini menyebabkan paralysis pada lambung (Howard, 1994).
Gejala luar infeksi Bacillus thuringensis pada Lepidoptera adalah penghilangan selera makan dan mobilitas larva berkurang dengan cepat setelah aplikasi. Larva kelihtan kurang tanggap terhadap sentuhan. Setelah larva mati, larva kelihatan mengkerut dan perubahan warnapun semakin jelas terlihat. Tubuh serangga yang mati menjadi lunak dan mengandung cairan. Kadang – kadang terjadi penghancuran integumen (dinding tubuh serangga bagian luar) di beberapa bagian tubuh larva. Kemudian larva menjadi busuk (Steinhaus, 2002) Racun kristal itu dalam kenyataannya merupakan protoksin yang aktif apabila dicerna oleh cairan – cairan yang ada didalam perut S. asigna. Kristal – kristal parasepora l yang dicerna hanya meracuni larva S. asigna dimana pH ususnya asam.
Apabila biakan – biakan B. thuringiensis yang telah mengalami sporulasi diberikan kepada serangga, satu di antara tiga akibat utamanya akan terjadi, tergantung terserang dan tergantung juga kepada besarnya dosis, yaitu:1). Serangga – serangga yang diracuni oleh Kristal beracun, dengan segera menjadi lumpuh, menunjukkan adanya perubahan patologis dalam jaringan – jaringannya, dan kemudian akan mati sebelum pertumbuhan yang sesungguhnyaatau infeksi B. Thuringiensis 2). Serangga – serangga menunjukkan tanda – tanda keracunan (misalnya berhenti makan) dan rusaknya epithelium midgut (perut bagina tengah) yang memungkinkan bakteri kedalam darah dan berakibat suatu septicemia yang memat ikan dengan atau tanpa terjadinya pertumbuhan bakteri sebelumnya didalam perut. 3). Serangga – serangga relatif tidak rusak oleh kristal karena dalam kasus ini B. thuringiensis berperilaku seperti B. cereus dan bertindak sebagai pathogen fakultatif atau pathogen potensial yang mampu menghasilkan septicemia yang mematikan apabila haemocoel -nya terlibat (Huffaker dan Messenger, 1989).
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Menurut laporan WHO pada tahun 1999, sebanyak 13.000 ton produk B. thuringiensis diproduksi setiap tahunnya melalui teknologi fermentasi aerobik. Sebagian besar produk tersebut yang mengandung ICP dan spora hidup, sedangkan sebagian lainnya mengandung spora yang telah diinaktivasi. Produk B. thuringiensis konvensional hanya dibuat untuk mengatasi hama lepidoptera yang menyerang tanaman pertanian dan perhutanan. Namun, sekarang ini, banyak galur B. thuringiensis yang diproduksi untuk mengatasi golongan koeloptera dan diptera (perantara penyakit yang diakibatkan parasit dan virus). B. thuringiensis komersil juga telah diformulasikan sebagai insektisida untuk dedaunan, tanah, lingkungan perairan, dan fasilitas penyimpanan makanan. Contoh penggunaan B. thuringiensis pada lingkungan perairan adalah mengontrol nyamuk, lalat, dan larva serangga pengganggu lain pada waduk penampung air minum. Setelah diaplikasikan ke suatu ekosistem tertentu, sel vegetatif dan spora akan bertahan pada lingkungan sebagai komponen alami mikroflora dalam hitungan minggu, bulan, atau tahunan dan perlahan-lahan akan berkurang jumlahnya. Namun, ICP secara biologis akan inaktif dalam hitungan jam atau hari.
Aplikasi produk B. thuringiensis dapat menyebabkan pekerja lapangan terpapar secara aerosol ataupun melalui kontak dermal, serta mengkontaminasi makanan dan minuman pada lahan pertanian. Namun, menurut WHO hingga tahun 1999, belum ada laporan yang menunjukkan efek parah dari kontaminasi B. thuringiensis pada manusia, kecuali terjadinya iritasi mata dan kulit. Namun, sel vegetatif B. thuringiensis berpotensi memproduksi racun yang mirip dengan yang dihasilkan oleh Bacillus cereus dan belum diketahui apakah dapat menyebabkan penyakit manusia atau tidak. Penggunaan produk B. thuringiensis juga diketahui menimbulkan resitensi pada sebagian insekta, seperti Plodia interpunctella, Cadra cautella, Leptinotarsa decemlineata, Chrysomela scripta, Spodoptera littoralis, Spodoptera exigua, sehingga penggunaan produk tersebut untuk tujuan pengendalian hama harus lebih diperhatikan.
Saat ini sudah ada sediaan untuk Bacillus thuringiensis, untuk pengendalian ulat api maupun ulat kantong yang di rekomdasi oleh pemerintah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian Kementrian Pertanian Republik Indonesia 2016 seperti pada table berikut
Sumber
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/59357/Chapter II.pdf
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Bacillus_thuringiensis
Saat ini sudah ada sediaan untuk Bacillus thuringiensis, untuk pengendalian ulat api maupun ulat kantong yang di rekomdasi oleh pemerintah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian Kementrian Pertanian Republik Indonesia 2016 seperti pada table berikut
No
|
Bahan Aktiv
|
Hama
|
Jenis Bacillus
|
1
|
Endure 120 SC
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
2
|
Orchestra 480 SC
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
3
|
Sagri-Joss 300/50 EC
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
4
|
Agrisal WP
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
5
|
Bacillin WP
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
6
|
Bactospeine WP
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
7
|
Batindo + 1 WP
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
8
|
Bite SC
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
9
|
Bite WG
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
10
|
Bite WP
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
11
|
Crymax WP
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
12
|
Delfin WG
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
13
|
Dipel SC
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
14
|
Dipel WP
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
15
|
Florbac FC
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
16
|
Folkeen Tech SL
|
Ulat Api dan Ulat Kantung
|
Bacillus thuringiensis
|
Sumber
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/59357/Chapter II.pdf
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Bacillus_thuringiensis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar yang sifatnya membangun