Rabu, 04 April 2018

Bacillus thuringiensis Pengendalian Hama Ulat


PENDAHULUAN
Pada bahasan sebelumnya tepatnya tanggal 22 Februri 2018, kita telah membahas tentang penggunaan NPV sebagai pengendalian serangan hama ulat api, maka pada bahasan kali ini kita membahas penggunaan Bacillus  thuringiensis sebagai agen hayati dalam pengendalian serangan hama ulat. Salah satu hama yang banyak menyerang tanaman pertanian adalah dari jenis serangga seperti ulat, larva kumbang, dan lalat buah. Serangga tersebut dapat memakan daun, menggerogoti batang dan akar, maupun membusukkan buah. Petani biasanya menggunakan pertisida untuk mengendalikan serangga tersebut. Penyemprotan pestisida dapat mematikan serangga karena efek zat kimia beracun yang dikandungnya. Zat kimia dalam pertisida memang terbukti efektif dalam membasmi serangga, namun hal ini menimbulkan masalah baru karena zat kimia dalam pestisida juga beracun bagi manusia dan hewan lain apabila terakumulasi di dalam tubuh.

Penggunaan bahan pembasmi serangga yang efektif dan tidak membahayakan organisme lain terus berkembang dalam dunia pertanian. Salah satu penemuan yang cukup efektif untuk membasmi serangga pengganggu namun aman bagi organisme yang lain terutama manusia adalah penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis dalam pertanian. Penggunaan bakteri ini telah dikenal di Amerika Serikat sejak awal tahun 1960-an. Namun di Indonesia bakteri ini belum umum digunakan karena belum dikenal luas di kalangan petani, terutama petani tradisional


Bacillus thuringiensis atau biasa disingkat dengan BT merupakan bakteri yang mampu menghasilkan zat kimia yang beracun bagi serangga. Secara alami, bakteri ini terdapat di dalam tanah, pada serangga, maupun pada permukaan tanaman. BT yang dimakan serangga akan mengeluarkan racun yang mematikan dalam sistem pencernaan serangga. Oleh karena itu BT biasanya disemprotkan pada permukaan tanaman yang menjadi makanan serangga pengganggu. Serangga yang memakan daun, bunga, atau buah yang telah disemprot akan mati setelah beberapa waktu karena keracunan dan infeksi. Serangga muda/immature lebih rentan terhadap serangan racun BT dibandingkan dengan serangga dewasa.

Beberapa subspesies BT dikenal menghasilkan racun yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Telah dikenal BT yang menghasilkan racun spesifik terhadap kupu-kupu, ngengat, nyamuk, lalat, dan kumbang. Hewan-hewan lain seperti ikan, kadal, mupun burung tidak akan terpengaruh dengan racun BT. Manusia yang memakan tanaman yang telah disemprot BT juga tidak akan mengalami gangguan atau keracunan karena racunnya hanya berdampak pada serangga.

BT yang digunakan sebagai pembasmi serangga biasanya merupakan hasil pembiakan secara invitro di laboratorium. Dengan medium tertentu akan dihasilkan BT dalam jumlah banyak yang dapat digunakan untuk menyemprot tanaman setelah diencerkan. Penggunaan BT dapat digunakan sebagai alternatif membasmi serangga yang tidak membahayakan organisme lain, sebagai pengganti penggunaan pestisida yang berbahaya.

DESKRIPSI
Bacillus thuringiensis adalah bakteri gram-positif, berbentuk batang, yang tersebar secara luas di berbagai negara. Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi. Saat sporulasi terjadi, tubuhnya akan terdiri dari protein Cry yang termasuk ke dalam protein kristal kelas endotoksin delta. Apabila serangga memakan toksin tersebut maka serangga tersebut dapat mati. Oleh karena itu, protein atau toksin Cry dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami.

B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun 1998) berdasarkan serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri ini yang membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah kemampuan membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP disandikan oleh DNA plasmid yang dapat ditransfer melalui konjugasi antargalur B. thuringiensis , maupun dengan bakteri lain yang berhubungan. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan bermacam-macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat membentuk beta-eksotoksi yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia dan insekta.

B. thuringiensis dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry) dan toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat toksin Cry sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam mengontrol insekta. Lebih dari 50 gen penyandi toksin Cry telah disekuens dan digunakan sebagai dasar untuk pengelompokkan gen berdasarkan kesamaan sekuens penyusunnya.

SISTEM SERANGAN TOXIN
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.

Toksin Cry sebenarnya merupakan protoksin, yang harus diaktifkan terlebih dahulu sebelum memberikan efek negatif. Aktivasi toksin Cry dilakukan oleh protease usus sehingga terbentuk toksin aktif dengan bobot 60 kDA yang disebut delta-endotoksin. Delta-endotoksin ini diketahui terdiri dari tiga domain. Toksin tersebut tidak larut pada kondisi normal sehingga tidak membahayakan manusia, hewan tingkat tinggi, dan sebagian insekta. Namun. pada kondisi pH tinggi (basa) seperti yang ditemui di dalam usus lepidoptera, yaitu di atas 9.5, toksin tersebut akan aktif. Selanjutnya, toksin Cry akan menyebabkan lisis (pemecahan) usus lepidoptera.


B. thuringiensis berpotensi  tinggi  mengandung  protein.  Setelah  ulat  makan  daun  yang  disemprot  insektisida  ini  0,5 – 2  jam  kemudian  akan  berhenti makan dan paling lama 2 hari akan mati. Insekt isida biologi ini hanya mematikan larva  tidak  menimbulkan  masalah  terhadap  musuh– musuh  ulat  seperti  predator  dan  parasit  sehingga  pengendalian  hayati  tidak  terganggu  walaupun  dilakukan secara  terus  menerus.  Ulat  yang  terserang  menjadi  malas,  bahkan  menjadi  tidak  berwarna  dan  lemas,  setelah  mati  mereka  menghasilkan  bau  busuk.  Sel  –  sel bakteri mengadung satu kristal protein racun demikian juga dalam sporanya. Jika terlarut  dalam  tubuh  serangga  kristal  ini  menyebabkan  paralysis  pada  lambung  (Howard, 1994).

Gejala   luar   infeksi   Bacillus   thuringensis    pada   Lepidoptera   adalah   penghilangan  selera  makan  dan  mobilitas  larva  berkurang  dengan  cepat  setelah  aplikasi.  Larva  kelihtan  kurang  tanggap  terhadap  sentuhan.  Setelah  larva  mati,  larva kelihatan mengkerut dan perubahan warnapun semakin jelas terlihat. Tubuh serangga  yang  mati  menjadi  lunak  dan  mengandung  cairan.  Kadang  –  kadang terjadi penghancuran integumen (dinding tubuh serangga bagian luar) di beberapa bagian tubuh larva. Kemudian larva menjadi busuk (Steinhaus, 2002) Racun  kristal  itu  dalam  kenyataannya  merupakan  protoksin  yang  aktif  apabila   dicerna   oleh   cairan  – cairan   yang   ada   didalam   perut   S.   asigna.   Kristal – kristal parasepora l yang dicerna hanya meracuni larva S. asigna dimana pH  ususnya  asam.  

Apabila  biakan  – biakan B.  thuringiensis  yang  telah  mengalami   sporulasi   diberikan   kepada   serangga,   satu   di   antara   tiga   akibat   utamanya akan terjadi, tergantung terserang dan tergantung juga kepada besarnya dosis,  yaitu:1).  Serangga  – serangga  yang  diracuni  oleh  Kristal  beracun,  dengan segera menjadi lumpuh, menunjukkan adanya perubahan patologis dalam jaringan – jaringannya, dan kemudian akan mati sebelum pertumbuhan yang sesungguhnyaatau  infeksi B.  Thuringiensis 2).  Serangga  – serangga  menunjukkan  tanda  – tanda  keracunan  (misalnya  berhenti  makan)  dan  rusaknya  epithelium  midgut  (perut  bagina  tengah)  yang  memungkinkan  bakteri  kedalam  darah  dan  berakibat  suatu  septicemia  yang  memat ikan  dengan  atau  tanpa  terjadinya  pertumbuhan  bakteri sebelumnya didalam perut. 3). Serangga – serangga relatif tidak rusak oleh kristal  karena  dalam  kasus  ini  B.  thuringiensis  berperilaku  seperti  B.  cereus  dan bertindak   sebagai   pathogen   fakultatif   atau   pathogen   potensial   yang   mampu   menghasilkan   septicemia   yang   mematikan   apabila   haemocoel -nya   terlibat   (Huffaker dan Messenger, 1989).

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Menurut laporan WHO pada tahun 1999, sebanyak 13.000 ton produk B. thuringiensis diproduksi setiap tahunnya melalui teknologi fermentasi aerobik. Sebagian besar produk tersebut yang mengandung ICP dan spora hidup, sedangkan sebagian lainnya mengandung spora yang telah diinaktivasi. Produk B. thuringiensis konvensional hanya dibuat untuk mengatasi hama lepidoptera yang menyerang tanaman pertanian dan perhutanan. Namun, sekarang ini, banyak galur B. thuringiensis yang diproduksi untuk mengatasi golongan koeloptera dan diptera (perantara penyakit yang diakibatkan parasit dan virus). B. thuringiensis komersil juga telah diformulasikan sebagai insektisida untuk dedaunan, tanah, lingkungan perairan, dan fasilitas penyimpanan makanan. Contoh penggunaan B. thuringiensis pada lingkungan perairan adalah mengontrol nyamuk, lalat, dan larva serangga pengganggu lain pada waduk penampung air minum. Setelah diaplikasikan ke suatu ekosistem tertentu, sel vegetatif dan spora akan bertahan pada lingkungan sebagai komponen alami mikroflora dalam hitungan minggu, bulan, atau tahunan dan perlahan-lahan akan berkurang jumlahnya. Namun, ICP secara biologis akan inaktif dalam hitungan jam atau hari.

Aplikasi produk B. thuringiensis dapat menyebabkan pekerja lapangan terpapar secara aerosol ataupun melalui kontak dermal, serta mengkontaminasi makanan dan minuman pada lahan pertanian. Namun, menurut WHO hingga tahun 1999, belum ada laporan yang menunjukkan efek parah dari kontaminasi B. thuringiensis pada manusia, kecuali terjadinya iritasi mata dan kulit. Namun, sel vegetatif B. thuringiensis berpotensi memproduksi racun yang mirip dengan yang dihasilkan oleh Bacillus cereus dan belum diketahui apakah dapat menyebabkan penyakit manusia atau tidak. Penggunaan produk B. thuringiensis juga diketahui menimbulkan resitensi pada sebagian insekta, seperti Plodia interpunctella, Cadra cautella, Leptinotarsa decemlineata, Chrysomela scripta, Spodoptera littoralis, Spodoptera exigua, sehingga penggunaan produk tersebut untuk tujuan pengendalian hama harus lebih diperhatikan.

Saat ini sudah ada sediaan untuk Bacillus thuringiensis, untuk pengendalian ulat api maupun ulat kantong yang di rekomdasi oleh pemerintah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian Kementrian Pertanian Republik Indonesia 2016 seperti pada table berikut

No
Bahan Aktiv
Hama
Jenis Bacillus
1
Endure 120 SC
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
2
Orchestra 480 SC
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
3
Sagri-Joss 300/50 EC
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
4
Agrisal WP
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
5
Bacillin WP
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
6
Bactospeine WP
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
7
Batindo + 1 WP
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
8
Bite SC
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
9
Bite WG
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
10
Bite WP
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
11
Crymax WP
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
12
Delfin WG
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
13
Dipel SC
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
14
Dipel WP
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
15
Florbac FC
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
16
Folkeen Tech SL
Ulat Api dan Ulat Kantung
Bacillus thuringiensis
 



Sumber
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/59357/Chapter II.pdf
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Bacillus_thuringiensis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar yang sifatnya membangun