Senin, 26 Februari 2018

Cara Mengukur Ph Tanah


A. PENDAHULUAN


Budidaya – Dalam usaha budidaya tanaman tanah berfungsi sebagai media tanam dan sebagai sumber unsur hara dimana akar tanaman memperoleh nutrisi atau makanan. Syarat utama media tanam yang baik adalah mengandung unsur hara yang cukup yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga tanaman mampu tumbuh dengan baik dan berproduksi secara maksimal. Faktor penting lainnya yang juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha budidaya tanaman adalah kadar keasaman tanah atau pH tanah. Dimana setiap tanah memiliki kadar keasaman (pH) yang berbeda-beda. 


Sebagian jenis tanaman dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan kadar pH rendah (tanah asam) dan sebagian lainnya bisa tumbuh pada tanah yang ber pH tinggi (tanah basa). Akan tetapi sebagian besar tanaman yang sering dibudidayakan hanya bisa tumbuh pada tanah yang ber-pH netral. Oleh karena itu setiap petani/planters hendaknya wajib mengetahui kondisi tanah sebelum melakukan kegiatan budidaya tanaman. pH tanah atau media tanam sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha budidaya pertanian/perkebunan. Seringkali kegagalan usaha pertanian/perkebunan disebabkan karena minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengetahui kadar keasaman lahan pertanian/perkebunan.


Kadar pH tanah diukur dalam skala pH dengan rentang angka antara 0 hingga 14. Tanah dengan kadar pH 0 hingga 7 bersifat asam, sedangkan tanah dengan kadar pH antara 7-14 disebut basa. Tanaman yang dibudidayakan pada tanah ber pH rendah maupun tinggi tidak akan tumbuh dengan baik. Sebab pada tanam masam dan basa akar tanaman tidak mampu menyerap unsur hara dengan baik. Sebagian besar tanaman budidaya hanya mampu tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki kadar pH netral, yaitu 7. pH minimal yang masih bisa ditoleransi oleh tanaman adalah 5,5.

B.    FAKTOR YANG MEMPENGARUHI pH TANAH RENDAH

 Beberapa faktor penyebab rendahnya pH tanah antara lain sebagai berikut ;
  • Tercucinya unsur hara pada tanah akibat curah hujan yang tinggi,
  • Adanya unsur Aluminium (Al), Tembaga (Cu) dan Besi (Fe) yang berlebihan,
  • Drainase yang kurang baik sehingga menyebabkan tergenangnya air secara terus menerus dan dalam wakyu yang lama,
  • Terjadinya dekomposisi bahan organik yang berakibat keluarnya kalsium dari dalam tanah,
  • Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, terutama pupuk nitrogen,
  • Tanah kekurangan unsur magnesium (Mg) dan kalsium (Ca).
C.    CARA SEDERHANA MENGUKUR DAN MENGETAHUI pH TANAH


Cara mengetahui pH tanah dapat dilakukan dengan berbagai metode, baik secara tradisional (cara sederhana) maupun menggunakan pH meter tanah. Secara tradisonal, pH tanah dapat diketahui dengan memperhatiakn jenis tanaman yang tumbuh secara alami pada tanah tersebut dan menggunakan indikator dari bahan alami, misalnya kunyit, Kobis Merah. Berikut ini beberapa cara mudah mengetahui tanah asam (pH Tanah), baik secara tradisional maupun menggunakan alat seperti kertas lakmus dan pH Meter

1).    Cara Sederhana Mengetahui Keasaman pH Tanah dengan Indikator Tanaman 
Tanaman liar yang tumbuh secara alami pada tanah asam dan basa berbeda-beda. Oleh karena itu tumbuhan yang ada pada suatu lahan dapat digunakan sebagai indikator kadar pH tanah tersebut. Dengan cara ini kita dapat mengetahui apakah tanah tersebut asam atau basa hanya dengan memperhatikan tanaman yang tumbuh di atasnya. Tumbuhan yang bisa kita jadikan indikator misalnya adalah Senggani atau Keduduk (Melastoma malabathricum). Senggani memiliki banyak nama lokal atau nama daerah, diantaranya yaitu Harendong (Sunda), Senduduk atau Sikaduduk (Minang), Keduduk (Melayu) dan dalam bahasa Jawa dikenal dengan Senggani atau Kemanden. Jika suatu lahan banyak ditumbuhi tanaman tersebut maka mengindikasikan bahwa tanah pada lahan tersebut memiliki kadar pH yang rendah atau masam.

2).    Cara Mudah Mengetahui pH Tanah Menggunakan Indikator Kunyit
Selain dengan cara memperhatikan tanaman yang tumbuh, cara lain untuk mengetahui keasaman tanah adalah menggunakan kunyit. Rimpang kunyit dapat digunakan sebagai indikator kadar keasaman tanah. Cara mengetahui pH tanah menggunakan kunyit adalah sebagai berikut ;
  • Sediakan rimpang kunyit seukuran jempol,
  • Potong kunyit tersebut menjadi dua bagian,
  • Ambil sampel tanah dari 5 titik yang berbeda, yaitu 4 titik pada ujung lahan dan 1 titik di tengah-tengah lahan,
  • Semua sampel tanah dijadikan satu dalam wadah dan dibasahi dengan air secukupnya, kemudian diaduk hingga tercampur rata,
  • Satu bagian kunyit dimasukkan kedalam adonan tanah tersebut dan biarkan selama 30 menit, kemudian angkat,
  • Selanjutnya bandingkan warna kunyit dengan potongan kunyit yang tidak dimasukkan kewadah berisi adonan tanah,
  • Jika warna kunyit menjadi pudar maka tanah tersebut dapat dipastikan masam (pH rendah), Jika warna kunyit tetap berarti pH tanah tersebut netral, dan jika warna kunyit berubah menjadi biru berarti tanah tersebut ber pH tinggi atau basa.
3.    Cara Mengukur pH Tanah Menggunakan Kertas Lakmus
Kedua cara diatas memang sudah cukup membantu kita dalam mendeteksi kadar keasaman suatu lahan pertanian, namun kita tidak dapat mengetahui dengan pasti angka pH-nya. Sehingga kita masih mengalami kesulitan dalam perlakuan tanah tersebut. Misalnya ketika kita akan melakukan pengapuran untuk menaikkan pH tanah, kita tidak tahu pasti berapa dosis kapur yang harus diberikan. Untuk itu kita perlu mengukur pH tanah menggunakan suatu alat, salah satunya adalah kertas lakmus. Cara mengukur pH tanah menggunakan kertas lakmus adalah sebagai berikut :
  • Ambil sampel tanah dari 5 titik yang berbeda, yaitu 4 titik pada ujung lahan dan 1 titik di tengah-tengah lahan,
  • Semua sampel tanah dijadikan satu dalam wadah dan dibasahi dengan air dengan perbandingan 1:1, kemudian diaduk hingga tercampur rata,
  • Biarkan selama kurang lebih 15-20 menit sehingga tanah mengendap (air dan tanah terpisah),
  • Celupkan ujung kertas lakmus pada air selama 1 menit dan jangan sampai menyentuh tanah,
  • Segera angkat jika warna kertas lakmus sudah stabil,
  • Cocokkan warna kertas lakmus tersebut dengan bagan warna,
  • Lihat warna tersebut ada pada skala berapa, apakah 0, 1, atau 7
4.    Cara Mengukur pH Tanah Menggunakan Kubis Merah
Kubis Merah juga dapat menjadi indikator dalam menentukan Ph tanah, dengan menambahkan beberapa zat tambahan seperti cuka dan soda kue, berikut caranya

  • Ambil bagian kepala kubis merah dan potong dengan halus menggunakan pisau atau pemroses makanan. Larutan yang dihasilkan dari kubis merah akan berubah warna sesuai dengan pH larutan yang bersentuhan dengannya.
  • Panaskan air dengan menggunakan air destilasi hingga mendidih. Menggunakan air destilasi murni akan memberikan hasil pengukuran pH yang akurat.
  • Masukkan irisan kubis merah ke dalam air destilasi yang mendidih. Biarkan terendam hingga sekitar sepuluh menit dan kemudian saring, dan sisakan air rebusan yang berwarna violet. Air rebusan ini seharusnya memiliki pH netral sekitar 7.
  • Uji air kubis. Tuangkan sedikit air kubis ke dalam dua cangkir terpisah, dan tambahkan cuka ke dalam salah satu cangkir, dan soda kue ke cangkir lainnya. Cuka yang bersifat asam akan mengubah larutan menjadi berwarna pink cerah. Sedangkan soda kue yang bersifat basa akan berubah warna menjadi biru atau hijau.
  • Uji tanah Anda. Tuangkan beberapa inchi air kubis ke dalam cangkir bersih dan masukkan dua sendok makan tanah sampel. Tunggu selama tiga puluh menit, dan periksa warna larutan yang dihasilkan.
  • Ungu atau violet menandakan pH sekitar 7, bersifat netral.
  • Pink berarti tanah Anda bersifat asam, dengan pH antara 1 hingga 7. Semakin asam tanah, akan semakin terang warna pink larutan Anda.
  • Biru atau hijau berarti pH basa, antara 8 hingga 14. Semakin cerah warna hijau larutan, akan semakin basa sifatnya.
5. Cara Mengukur pH Tanah Menggunakan pH Meter
Cara yang yang terakhir ini merupakan cara yang paling mudah, praktis dan akurat jika dibandingkan dengan ketiga cara diatas. Dengan menggunakan pH Meter bisa langsung diketahui berapa skala pH tanah tersebut, sehingga mempermudah kita dalam memberikan perlakuan. Cara menggunakan pH meter tanah sangat mudah dan praktis, yaitu cukup dengan menusukkan ujung alat pH meter pada keempat ujung titik lahan dan satu titik ditengah-tengah lahan. Hasil yang diperoleh pada skala pH akan menunjukkan angka yang sudah dirata-ratakan.


Mengukur kadar keasaman tanah menggunakan pH Meter sangat mempermudah kita dalam pemberian dosis kapur pertanian. Karena angka atau skala pH hasil pengukuran dapat diketahui dengan pasti. Secara umum untuk menaikkan 1 tingkat skala pH membutuhkan 2 ton dolomit (kapur pertanian) setiap hektar. Misalnya jika hasil pengukuran menunjukkan angka skala pH 6 maka untuk memperoleh pH 7 dalam satu hektar lahan dibutuhkan 2 ton dolomit. Jika hasil pengukuran menunjukkan angka 4, maka dalam satu hektar dibutuhkan 6 ton dolomit untuk memperoleh pH netral (7.0). Pengukuran pH tanah dan pemberian dolomit atau pengapuran sebaiknya dilakukan saat pengolahan lahan, sehingga ketika benih atau bibit ditanam pH tanah sudah benar-benar stabil.

CATATAN
  • Catat hasil pengujian pH Anda. Anda mungkin memerlukan data ini di masa depan, karena pH tanah berubah seiring waktu.
  • Beberapa alat ukur pH menunjukkan hasil dengan perubahan warna, tidak dengan angka. Dalam kasus ini, hijau biasanya menandakan tanah yang netral, kuning hingga jingga menandakan tanah asam, dan hijau gelap menandakan tanah yang basa.
  • Lakukan beberapa kali pembacaan setiap kali melakukan pengukuran. Lakukan pengukuran dari minimal enam kali dari bagian taman yang berbeda untuk memperoleh hasil pengukuran yang akurat.
  • Hindari kontaminasi (dan kesalahan pembacaan) dengan memastikan alat ukur pH dan sekop yang Anda gunakan bersih. Jangan sentuh tanah langsung dengan tangan Anda.
  • Pastikan alat ukur pH yang Anda gunakan telah dikalibrasi dengan baik sebelum melakukan pembacaan (jika Anda ingin hasil pengukuran yang lebih akurat).
  • Hubungi kantor kementrian pertanian untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas mengenai pengujian tanah atau untuk meminta bantuan profesional dalam pengujian tanah Anda.
ALAT YANG DIBUTUHKAN
  • Alat ukur pH
  • Sekop /Cangkul kecil untuk berkebun
  • Air dengan pH 7 atau air destilasi
  • Kunyit
  • Kertas Lakmus
  • Kubis merah
  • Pisau
  • Kompor (atau alat lain untuk merebus air)
  • Beberapa cangkir
  • Cuka
  • Soda kue
Demikian “Cara Sederhana Mengetahui Tanah Masam atau Basa (Mengukur pH Tanah)“. Semoga bermanfaat….

Sumber : 
1. https://mitalom.com/4-cara-sederhana-mengetahui-tanah-masam-dan-faktor-yang-mempengaruhi-ph-tanah/
2. https://id.wikihow.com/Menguji-pH-Tanah

Minggu, 25 Februari 2018

Kesesuaian Lahan


1.    PENGERTIAN
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan adalah perbandingan (matching) antara kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan.

2.    STRUKTUR KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka kerja FAO 1976 adalah terdiri dari 4 kategori sebagai berikut:
  1. Ordo (Order): menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum.
  2. Klas (Class) : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
  3. Sub-Klas : menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan pada jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas.
  4. Satuan (Unit): menunjukkan tingkatan dalam sub-kelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya.
3.    KESESUAIAN LAHAN PADA TINGKAT ORDO

Kesesuaian lahan pada tingkat Ordo berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu:

a.    Ordo S : Sesuai (Suitable) 
Ordo S atau Sesuai (Suitable) adalah lahan yang dapat digunakan untuk penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumber daya lahannya. Penggunaan lahan tersebut akan memberi keuntungan lebih besar daripada masukan yang diberikan.

b.   Ordo N: Tidak Sesuai (Not Suitable)
Ordo N atau tidak sesuai (not suitable) adalah lahan yang mempunyai pembatas demikian rupa sehingga mencegah penggunaan secara lestari untuk suatu tujuan yang direncanakan.
Lahan kategori ini yaitu tidak sesuai untuk penggunaan tertentu karena beberapa alasan. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan lahan yang diusulkan secara teknis tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, misalnya membangun irigasi pada lahan yang curamyang berbatu, atau karena dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang parah, seperti penanaman pada lereng yang curam. Selain itu, sering pula didasarkan pada pertimbangan ekonomi yaitu nilai keuntungan yang diharapkan lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan.

4.    KESESUAIAN LAHAN PADA TINGKAT KELAS
  
Kelas kesesuaian lahan merupakan pembagian lebih lanjut dari Ordo dan menggambarkan tingkat kesesuaian dari suatu Ordo. Tingkat dalam kelas ditunjukkan oleh angka (nomor urut) yang ditulis dibelakang simbol Ordo. Nomor urut tersebut menunjukkan tingkatan kelas yang makin menurun dalam suatu Ordo.

Jumlah kelas yang dianjurkan adalah sebanyak 3 (tiga) kelas dalam Ordo S, yaitu: S1, S2, S3 dan 2 (dua) kelas dalam Ordo N, yaitu: N1 dan N2. Penjelasan secara kualitatif dari definisi dalam pembagian kelas disajikan dalam uraian berikut:

a.    Kelas S1
Kelas S1 atau Sangat Sesuai (Highly Suitable) merupakan lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk penggunaan secara lestari atau hanya mempunyai pembatas tidak berarti dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi serta tidak menyebabkan kenaikan masukan yang diberikan pada umumnya.

b.   Kelas S2
Kelas S2 atau Cukup Sesuai (Moderately Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan, serta meningkatkan masukan yang diperlukan.

c.    Kelas S3
Kelas S3 atau Sesuai Marginal (Marginal Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan.Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan. Perlu ditingkatkan masukan yang diperlukan.

d.   Kelas N1
Kelas N1 atau Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang lebih berat, tapi masih mungkin untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya yang rasional. Faktor-faktor pembatasnya begitu berat sehingga menghalangi keberhasilan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

e.    Kelas N2
Kelas N2 atau Tidak Sesuai Selamanya (Permanently Not Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat, sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari.

5.    EMPAT MACAM KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN

Berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) dikenal empat macam klasifikasi kesesuaian lahan, yaitu:
a.    Kesesuaian lahan yang bersifat kualitatif.
b.    Kesesuaian lahan yang bersifat kuantitatif.
c.    Kesesuaian lahan aktual.
d.   Kesesuaian lahan potensial.

Jumat, 23 Februari 2018

Hama Belalang


Salah satu hama tanaman dari jenis serangga pada tanaman kelapa sawit disamping hama yang sudah sering kita dengar seperti Ulat Api, Ulat kantung,  kumbang tanduk, kumbang malam, maka belalang merupakan salah satu serangga pemakan daun kelapa sawit yang cukup membahayakan dalam serangan yang seporadis, serangan hama ini sering terjadi pada wilayah Sulawesi maupun Irian.

Belalang (Locusta, sp) merupakan serangga yang dapat merugikan tanaman budidaya (tanaman Kelapa Sawit, Tebu, Jeruk dan Mangga) karena selain memakan rumput-rumputan juga dapat memakan bagian tanaman Kelapa Sawit (daun muda). Belalang (Locusta, sp) ini masuk dalam kategori, Kelas: Insekta, Ordo: Orthoptera, Famili: Acridida, Genus: Locusta, Species: Locusta migratori (Oda, 1997) 

FISIOLOGI

Pada fase hidup menyendiri, Belalang jantan mempunyai ukuran panjang 30 – 40 mm dan betina 30 – 70 mm. Namun dalam fase berkelompok, ukuran pejantan lebih besar yaitu 42 - 45 mm dan betina 37 - 60 mm. Warna kulit Belalang ini beraneka warna, di mana Belalang dewasa berwana hijau keabu-abuan sampai kehitam-hitaman. Namun Belalang muda berwarna kehitam-hitaman dan kehijauan (tergantung fasenya). Bentuk sayap berbintik-bintik

Belalang (Locusta sp) ini menyerang tanaman tergantung pada keadaan iklim (terutama musim kemarau atau kering). Siklus hidup dari telur ke telur mencapai 70 - 110 hari, dengan masa inkubasi telur 15 hari, 30 - 50 hari untuk stadia larva dan aktivitas serangga dewasa dapat berlangsung sampai 50 hari. Telur-telur diletakkan pada permukaan tanah yang tidak tertutup. Belalang betina mampu bertelur sampai 200 butir pada 7 - 8 tempat. Pada serangan yang parah (hebat) keberadaan musuh alami belum dapat mengendalikan Belalang ini

PENGENDALIAN
  • Secara mekanis dengan menghancurkan telur dan nimfanya, menangkap belalang menggunakan jaring serangga atau perangkap lem yang dipasang di sekitar pangkal batang untuk menghalangi betina bertelur di pangkal batang dan menangkap nimfa yang akan naik ke pohon;
  • Secara kultur teknis dengan menanam tanaman penutup tanah, misalnya Mucuna bracteata, Centrosema sp., Calopogonium sp., dan sebagainya;
  • Secara kimiawi dengan melakukan penyemprotan menggunakan insektisida dengan interval 1-2 minggu sekali. Insektisida  yang direkomendasikan oleh Komisi Pestisida Indonesia tahun 2016 untuk hama Oxya chinensis: Lamda sihalotrin + Tiametoksam (Alika 247 ZC).
  • Secara biologis menggunakan parasit Leefmansia bicolor tapi hasilnya belum memuaskan

Sumber : http://www.doktersawit.com/belalang/

Kamis, 22 Februari 2018

NPV Untuk Pengendalian Ulat Api




Terdapat 12 Jenis Ulat Api yang di ketahui mempu merusak tanaman kelapa sawit, dan hama Ulat Api  Setothosea asigna merupakan hama utama pada perkebunan kelapa sawit dan menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di lapangan sampai berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali dijumpai menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun demikian, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit (TKS) yang lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini juga dijumpai pada areal TM. Pada areal replanting kelapa sawit, serangan kumbang dapat mengakibatkan tertundanya masa berproduksi sampai satu tahun dan tanaman yang mati dapat mencapai 25%.

Serangan Ulat Api (Setothosea asigna) pada perkebunan kelapa sawit apabila tidak dikendalikan secara terpadu tidak akan memberikan hasil yang optimal. Siklus hidup kumbang tanduk yang berlangsung relatif cukup lama membuat keberadaan hama ini di lokasi perkebunan yang terserang populasinya akan semakin tinggi dan dapat menimbulkan kerusakan tanaman kelapa sawit yang sangat parah. Untuk pengendalian yang efektif perlu diketahui secara baik siklus hidup Ulat Api (Setothosea asigna).

Akibat penggunaan insektisida kimia yang tidak tepat, tidak hanya mencemari hasil pertanian dan lingkungan, tetapi juga dapat menimbulkan kekebalan dan resurgensi hama dan musnahnya musuh alami. Sejalan dengan upaya pengendalian hama yang ramah lingkungan, perlu dicari cara-cara pengendalian alternatif yang lebih efisien dan aman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) berpotensi untuk mengendalikan Setothosea asigna karena efektifitas bioinsektisidanya sangat tinggi.

Pengendalian terhadap Setothosea asigna di samping menggunakangunakan insektisida kimia berdasarkan ambang kendali, diharapkan juga dilakukan melalui berbagai taktik pengendalian, di antaranya dengan pemanfaatan patogen serangga yang mempunyai spektrum daya bunuh spesifik, tidak membunuh parasitoid, predator, dan tidak mencemari lingkungan. Penggunaan musuh alami bemanfaat untuk mengatur dan mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang tidak merugikan tanaman.

Di antara beberapa jenis musuh alami yang dapat digunakan sebagai bioinsektisida adalah Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV). NPV merupakan salah satu patogen penting untuk mengendalikan Setothosea asigna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) berpotensi dikembangkan untuk mengendalikan Setothosea asigna.

KLASIFIKASI DAN DESKRIPSI


NPV merupakan salah satu anggota genus Baculovirus, Famili Baculoviridaeyang memilikidua genus, yaitu Nucleo polyhedrosis virus (NPV) dan Granulovirus (GV) (Murphy et al. 1995). Secara umum virus serangga dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu virus yang mempunyai Inclusion Body (IB) dan virus NonInclusion Body (tanpa IB). Inclusion Body merupakan badan pembawa virus yang terbuat dari matriks protein, dan mempunyai bentuk seperti kristal tidak beraturan. Matriks protein inilah yang sering disebut dengan PolyhedralInclusion Body (PIB) (Amico 1997). PIB dapat dilihat dengan mikroskop biasa, di dalam standardisasi PIB digunakan sebagai satuan untuk menentukan konsentrasi dan dosis NPV.

Bentuk polyhedra dapat berupa dodecahedra, tetrahedral, kubus, atau tidak beraturan. Diameter polyhedra berukuran 0,05–15,00 μm. Bentuk polyhedra tergantung pada jenis serangga inang yang terinfeksi NPV (Maddox 1975). Di dalam PIB terdapat bagian NPV yang bersifat mematikan serangga yaitu nuckleokapsid, yang terletak di dalam virion berbentuk tongkat panjang 336 μm, diameter 62 μm. Virion terbungkus dalam satu membran yang disebut envelop, di dalam satu virion terdapat satu atau lebih nukleokapsid. Virion hanya dapat dilihat dengan mikroskop electron.

Berdasarkan jumlah nukleokapsid, NPV dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu single nukleokapsid (SNPV) dan multi nucleokapsid (MNPV). Pada SNPV, tiap envelop berisi satu nuckleokapsid, sedangkan pada MNPV berisi lebih dari satu sampai 200 nukleokapsid (Tanada dan Kaya 1992). Pada umumnya SNPV mempunyai inang yang lebih spesifik dibandingkan dengan MNPV (Ignoffo dan Couch 1981).

MEKANISM INFEKSI DAN PATAGENISITAS

NPV akan melakukan replikasi atau memperbanyak diri di dalam inti sel inangnya. Oleh karena itu infeksi NPV harus tertelan bersama-sama pakan yang dikonsumsi melalui mulut terus ke pencernaan. Dalam pencernaan ini NPV menginfeksi nucleus sel-sel yang peka terutama lapisan epitel ventrikulus dan hemosit yang berada dalam haemocoel Setothosea asigna. Infeksi NPV dalam tubuh serangga dapat terjadi jika usus serangga pada kondisi alkalis (pH > 9). Pada kondisi alkalis PIB akan melepas virion dari selubung protein kemudian virion menembus jaringan peritrofik, mikrovili, kemudian akan memisahkan sel-sel kolumnar dan goblet, dan pada akhirnya akan merusak seluruh jaringan usus dan kondisi di dalam haemolimfa akan terlihat keruh penuh cairan NPV. 

Cairan NPV tersebut merupakan replikasi virion-virion baru yang terbentuk di dalam sel-sel rongga tubuh (haemocoel) dan jaringan lain seperti lemak tubuh, sel epidermis, haemolimfa, dan trakea. Pada jaringan-jaringan tersebut virion-virion dapat mengambil tempat sehingga terjadi cellysis. Larva akan mati setelah sebagian besar jaringan tubuhnya terinfeksi NPV (Smits 1987).

NPV menginfeksi inang melalui dua tahap. Pada tahap pertama NPV menyerang usus tengah, kemudian pada tahap selanjutnya organ tubuh (haemocoel) serta organ dalam tubuh yang lain. Pada infeksi lanjut NPV juga menyerang sel darah (leucosit dan limfosit), trakea, hypodermis, dan sel lemak (Deacon 1983; Ignoffo dan Couch 1981). PIB dalam tubuh larva yang terserang ukurannya bervariasi tergantung pada perkembangan stadium larva, sebagian besar polyhedra memiliki ukuran dan stadium pematangan yang hampir sama (Granados and Federici 1986).

GEJALA SERANGAN/INFEKSI NPV


Gejala infeksi NPV pada larva Setothosea asigna akan terlihat setelah 1 - 3 hari NPV tertelan, PIB akan terurai oleh kondisi alkali dan kandungan bikarbonat perut larva. Pada larva instar-1 yang terinfeksi NPV pada umumnya akan terlihat putih susu, akan tetapi gejala ini agak sulit dilihat secara visual kecuali dengan mikroskop. Pada larva instar-3 dan 4 akan terlihat gejala putih kecoklatan pada bagian perutnya, sedangkan pada bagian punggung berwarna coklat susu kehitaman.
Bila larva instar-5 dan 6 yang terinfeksi NPV tidak mati, maka pada fase pupa akan membusuk dan seandainya sampai pada fase imago, maka bentuk sayap menjadi keriting. Larva yang terinfeksi NPV pada umumnya ditandai dengan berkurangnya kemampuan makan, gerakan yang lambat, dan tubuh membengkak, akibat replikasi atau perbanyakan partikel-partikel virus NPV. Integumen larva biasanya menjadi lunak dan rapuh serta mudah sobek. Apabila tubuh larva tersebut pecah maka akan keluar cairan kental berwarna coklat susu yang merupakan cairan NPV dengan bau sangat menyengat.
 
POTENSI NPV SEBAGAI AGENS HAYATI
 
Pemanfaatan NPV sebagai agens hayati sangat efektif untuk mengendalikan S. litura. NPV ini didapat dengan cara mengambil dan memperbanyak virus yang berasal dari hama tersebut.  Efektifitas NPV sangat dipengaruhi oleh sinar ultra violet yang dipancarkan sinar matahari, karena sinar ultra violet dapat menyebabkan penurunan efektifitas NPV, demikian juga suhu lingkungan berpengaruh terhadap aktifitas NPV (Young 2003). Oleh karena itu untuk aplikasinya diperlukan formula yang mengandung bahan pelindung atau ajuvant yang tahan terhadap sinar ultra violet sehingga keefektifian NPV dapat dipertahankan. Di samping itu kematian larva juga dipengaruhi oleh efektifitas isolat, hal ini sesuai dengan pendapat Maddox (1975) dan Starnes et al. (1993) bahwa kematian larvaakibat NPV sangat bergantung pada strain virus, jenis inang, stadia inang, banyaknya 
polyhedra, dan suhu.

Keunggulan NPV sebagai agens hayati antara lain adalah bersifat spesifik dan selektif terhadap inang sasaran, efektif terhadap larva yang resisten terhadap insektisida kimia, tidak merusak musuh alami, serta tidak berbahaya bagi lingkungan dan manusia karena tidak meninggalkan residu beracun. Keunggulan yang lain adalah NPV bersifat kompatibel jika diaplikasikan dengan insektisida kimia dan entomo patogen yang lain seperti Bacillus thuringiensis (Jaques 1988).

PERBANYAKAN NPV
 

Biopestisida NPV dengan metode sederhana dapat dianjurkan kepada petani untuk diproduksi sendiri. Dosis efektif terhadap Setothosea asigna adalah 1,5 x 1012 PIBs/ha. Dengan asumsi bahwa seekor larva Setothosea asigna  instar-6 mati terinfeksi SlNPV mengandung 1 x 109 PIBs, maka kebutuhan larva mati akibat terinfeksi SlNPV untuk keperluan pengendalian Setothosea asigna pada areal tanaman Kelapa Sawit seluas 1 ha adalah (1,5 x 1012 PIBs/ha)/(1 x 109 PIBs/ekor) = 1500 larva/ha. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut: 
  • Larva Setothosea asigna yang berukuran panjang antara 2–3 cm atau instar-3 dan 4, dikumpulkan /diambil dari lahan Tanaman kemudian dimasukkan ke dalam stoples plastik diameter 18,5 cm tinggi 12 cm (masing-masing stoples idealnya diisi 100 ekor larva), atau jumlah larva disesuaikan dengan besarnya stoples (jika terlalu banyak larva akan saling menggigit). 
  • Pengambilan larva dari lapangan juga merupakan tindakan pengendalian secara mekanis yang dapat dilakukan oleh petani setiap hari. Larva tersebut kemudian diberi pakan berupa helaian daun kedelai yang sudah dicelupkan/ditetesi suspensi SlNPV. 
  • Larva dipelihara di dalam stoples sampai mati, kemudian setelah terkumpul, bangkai larva dapat langsung dihancurkan, disaring, dan suspensi SlNPV yang diperoleh dapat langsung digunakan sebagai bahan semprot atau disimpan (kering angin atau tepung).
Teknik Penyimpanan SlNPVBiopestisida NPV dalam bentuk tepung yang dikemas dengan alumunium foil dan disimpan dalam suhu kamar (22 - 29áµ’C) selama tiga bulan masih efektif terhadap Setothosea asigna dengan tingkat efektifitas 80%. Biopestisida NPV yang dikemas dengan alumunium foil dan disimpan dalam refrigerator 10 oC selama enam bulan juga cukup efektif dengan tingkat efektifitas 77% . Nilai efektifitas NPV menunjukkan bahwa tingkat kematian larva dipengaruhi oleh macam bahan kemasan, kondisi penyimpanan dan waktu penyimpanan. Berdasarkan kriteria nilai efektifitas ada lima kombinasi perlakuan yang diunggulkan yaitu (1) aluminium foil tahan 6 bulan dalam refrigerator, (2) aluminium foil tahan 6 bulan dalam freezer, (3) aluminium foil tahan 3 bulan dalam kamar, (4) aluminium foil tahan 3 bulan dalam refrigerator, (5) aluminium foil tahan 3 bulan dalam freezer.

APLIKASI BIOPESTISIDA NPV 

NPV dalam bentuk suspensi cair maupun dalam bentuk tepung (wettable powder, WP), diaplikasikan sebagaimana aplikasi insektisida kimia, yaitu dengan menggunakan alat semprot konvensional maupun sprayer gendong/knapsack. Volume semprot yang digunakan selama aplikasi yaitu 300 l/ha. Aplikasi dianjurkan pada sore hari kurang lebih pukul 15.00–16.00. Evaluasi hasil aplikasi dapat dilakukan setelah 2–3 hari aplikasi SlNPV, yaitu dengan melihat  larva Setothosea asigna yang mati dengan ciri khusus yaitu badan lunak dan berwarna coklat atau tergeletak pada helaian daun dengan mengeluarkan cairan  berwarna coklat susu dan mengeluarkan aroma/ bau yang menyengat.
Aplikasi lain adalah engan Menggunakan Ulat yang terinfeksi oleh Virus NPV, dengan cara memblender, menyaring, dan menyemprotkan kembali ke lapangan. Dosis 400 g ulat terinfeksi NPV per ha. Virus dalam tubuh ulat api dapat bertahan puluhan tahun apabila disimpan di dalam freezer -20 oC.

Sumber : BEDJO: PEMANFAATAN SLNPV UNTUK PENGENDALIAN ULAT GRAYAK PADA TANAMAN KEDELAI (diolah)

Jumat, 09 Februari 2018

Pola Kemitraan PIR


Kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) merupakan kemitraan perkebunan generasi pertama yang dimulai pada tahun 1980-an. Program PIR merupakan pola pengembangan perkebunan rakyat dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti dan sekaligus sebagai pelaksana pengembangan kebun plasma. Pola ini awalnya dibangun Perusahaan Perkebunan Negara untuk masyarakat di wilayah pedesaan.

Dalam pola ini, perkebunan besar membangun kebun inti, pabrik, lalu membangun plasma. Secara rinci, pekerjaan pembangunan program PIR meliputi tiga tahap. Tahap pertama, perusahaan inti melaksanakan pembangunan kebun. Pada tahap kedua, dilakukan pengalihan kebun kepada petani plasma dan akad kredit konversi. Selanjutnya, tahap ketiga dilakukan pengembalian atau pelunasan kredit (hutang petani).

Tanaman kelapa sawit dikonversi kepada masyarakat (petani plasma) setelah dirasakan cukup menghasilkan, disertai tanggung jawab untuk memelihara kebun dan mengelola usaha taninya. Petani plasma yang diberi tanggung jawab untuk mengembalikan kredit investasi pembangunan kebun plasma kepada pihak perbankan.

Program PIR sangat baik dan bermanfaat bagi masyarakat, setidaknya mampu membuka isolasi wilayah dengan dibangunnya jalur transportasi. Program PIR telah mampu menggerakkan perekonomian di daerah pedalaman karena berputarnya uang dalam jumlah besar. Namun di lapangan, program PIR banyak menghadapi kendala, baik kendala teknis budidaya perawatan kebun maupun kendala non-teknis seperti manajemen usaha tani dan manajemen ekonomi rumah tangga petani.

Permasalah teknis yang menonjol dari program PIR adalah kondisi tanaman yang populasinya tidak penuh (kerapatan tanaman dibawah standar, kurang dari 136 pohon per hektare-nya) dan Pertumbuhannya tidak standar. Hal ini mengakibatkan produktivitas rendah dan terus merosot (kurang dari 12 ton per hektare per tahun). Ditambah lagi dengan perilaku petani yang kadang tidak sesuai aturan teknis budidaya tanaman.

Produktivitas kebun plasma yang rendah menyebabkan PKS  kekurangan bahan baku. Akibatnya, PKS terpaksa mengurangi waktu pengolahan dan terkadang terpaksa mengurangi karyawan. Selain itu, kualitas TBS petani yang rendah (rendemen minyak dibawah 20%) menyebabkan pendapatan petani kurang dan tidak mampu membiayai pemeliharaan kebun dengan baik.Sementara itu, permasalahan non-teknis yang sering terjadi adalah macetnya pengembalian kredit dari petani. Secara tidak langsung masalah ini sebenarnya merupakan efek lanjut dari masalah teknis. Hasil kebun yang rendah mengakibatkan pendapatan petani berkurang dan tidak mampu membayar kredit. Bahkan tak jarang petani yang lebih memilih menjual kavelingnya atau menjual hasil kebunnya kepada pihak lain untuk menghindari pembayaran kredit. Selain karena faktor pendapatan petani, kredit macet disebabkan oleh kurangnya sosialisasi nilai kredit sehingga banyak petani yang tidak paham. Selain itu, mungkin juga disebabkan oleh pihak Perbankan atau perusahaan inti yang kurang aktif dalam melakukan penagihan.

Masalah-masalah yang terjadi di lapangan tersebut utamanya dipicu oleh kurangnya pembinaan dan pendampingan dari dinas (instansi) terkait maupun dari pihak perusahaan inti setelah kebun diserahkan kepada petani plasma. Ditambah lagi pendekatan perusahaan banyak hanya berorientasi kepada produksi. Nyatanya, dengan kurangnya pembinaan dan pendampingan menjadikan produktivitas kebun menurun. Pembinaan yang kurang menjadikan pemberdayaan tidak berjalan. Intensitas hubungan yang kurang menjadikan kesamaan persepsi tidak tercapai dan keharmonisan hubungan tidak dapat terwujud. Akhirnya, perusahaan dan petani mendapat kerugian.

Permasalahan kemitraan juga terjadi karena lemahnya peran kelembagaan petani, termasuk kelompok tani dan koperasi. Pembinaan dan pemberdayaan petani masih sangat kurang, akhirnya kelembagaan petani tidak berkembang dan kurang berfungsi sebagai penggerak dalam usaha tani. Selain itu, gaya hidup petani cenderung lebih kearah konsumtif sehingga pendapatan tidak menutup pengeluaran. Kadang-kadang masalah juga disebabkan karena perilaku dari pihak ketiga secara tidak bertanggung jawab memprovokasi dan menjadikan kondisi kemitraan menjadi kurang kondusif.


Sifat Tanah (Analisa Kesesuain Lahan)



SIFAT FISIK TANAH
            Potensi kesuburan tanah digambarkan oleh jenis tanah dan jumlah unsur hara yang ada didalam tanah. Jenis dan jumlah unsur hara tersebut belum dapat mencerminkan tingkat produksi tanaman kelapa sawit. Kesuburan tanah tidak hanya ditunjukkan oleh sifat kimia tanah, namun juga didukung oleh sifat fisik tanah dan faktor lingkungan yang ada di sekitar calon area lokasi.
            Sifat fisika tanah merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Sifat fisik tanah tersebut akan sangat mempengaruhi tindakan pengelolaan tanah. Sifat fisik tanah yang baik akan memberikan kesempatan pada akar tanaman untuk berkembang secara luas. Zone perkembangan akar kelapa sawit yang paling banyak adalah sekitar 1 meter di lapisan tanah bagian atas.
            Kedalaman tanah dan tekstur tanah penting untuk diketahui. Tekstur adalah perbandingan relatif partikel-partikel seperti liat, debu dan pasir yang dinyatakan dalam persen. Konsistensi tanah dalam keadaan lembab perlu diamati langsung di lapangan, sehingga sangat diketahui konsistensinya tergolong gembur atau sangat gembur untuk lapisan atas dan tergolong teguh atau sangat teguh untuk lapisan bawahnya. Dengan kata-lain, kelapa sawit menghendaki tanah yang subur, gembur, memiliki solum yang tebal, tanpa lapisan cadas, datar dan drainasenya baik. Kemiringan tanah yang dianggap masih baik bagi tanaman kelapa sawit adalah antara 0—15°. Sedangkan diatas kemiringan 15° harus dibuat teras kontur.
Tindakan dalam pengelolaan tanah jika konsistensi gembur tidak perlu ada tindakan khusus, tetapi jika teguh atau tekstur liat perlu tindakan khusus dengan pengolahan tanah dalam dan atau penambahan bahan organik dengan mengubur seresah atau dengan penggunaan pupuk organik.

           SIFAT KIMIA TANAH

            Sifat kimia tanah adalah keasaman tanah dan komposisi kandungan hara mineral yang ada dalam tanah. Sifat kimia tanah yang baik berarti tanah tersebut dapat menyediakan unsur-unsur hara dalam jumlah yang cukup dan dalam keadaan tersedia untuk diserap oleh akar. Tanaman kelapa sawit harus berada pada keadaan cukup dan seimbang dalam mendapatkan semua unsur hara yang diperlukan.
Untuk memperoleh gambaran status kesuburan tanah, perlu dilakukan pengambilan contoh dan analisis tanah yang lengkap di laboratorium. Sifat dan kondisi kimia tanah diperoleh dari penilaian kualitatif pengamatan di lapangan dan data kuantitatif dari hasil analisa laboratorium yang dilakukan dengan sampel tanah yang diambil di kedalaman tanah 10—30 cm. dan 30—60 cm.
            Sifat-sifat kimia tanah yang dinilai antara lain dari kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, reaksi tanah (pH) dan basa-basa dapat ditukar (Na, K, Mg dan Ca). Perlu juga dianalisis sifat-sifat lain yang mempengaruhi keseimbangan dari status hara dalam tanah, seperti Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa (KB), kejenuhan Al dan pH tanah. Keasaman tanah (pH) sangat menentukan ketersediaan dan keseimbangan unsur-unsur hara dalam tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH tanah antara 4—6,5 sedangkan pH optimum berkisar 5—5,5. Permukaan air tanah dan pH sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara yang dapat diserap oleh akar.
            Reaksi tanah yang sangat asam (pH kurang dari 4,0) menunjukkan aktivitas Alumunium (Al) yang tinggi dalam mengikat posfor dan merupakan faktor penghambat pertumbuhan tanaman. Keasaman dari tanah merupakan suatu faktor utama yang membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh keasaman tanah, keracunan H, Al, Mn dan kekahatan (keterbatasan) unsur hara P, Ca, Mg, K dan Mo, baik karena kandungan unsurnya yang rendah atau ketersediaannya yang rendah sebagai akibat tanah yang asam maupun drainase yang buruk.
            Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) merupakan sifat kimia tanah yang penting, karena erat kaitannya dengan tingkat ketersediaan unsur hara tanah. KTK  merupakan kemampuan tanah untuk memperoleh atau menukarkan kation atau anion dalam kompleks jerapan (adsorpi), sedangkan kejenuhan basa menunjukkan persentase jumlah basa dalam tanah yang dibutuhkan tanaman.
            Humus dan liat merupakan koloid-koloid tanah yang berguna sebagai tempat sarana berlangsungnya pertukaran kation dan anion dalam larutan tanah karena dapat mengadsorpsi (mengikat kuat) kation-kation pada permukaannya. Kation-kation yang teradsorpsi dipertukarkan dengan kation lainnya dalam kompleks jerapan (kompleks kumpulan tempat mengikat dan menempelnya kation). Kation Ca, Mg, K dan Na adalah kation-kation yang teradsorpsi permukaan kompleks jerapan.
            Untuk meningkatkan kesuburan tanah, ketersediaan unsur hara, serta mempertahankan dan meningkatkan produksi, perlu pemupukan yang berimbang antara produksi tanaman kelapa sawit, unsur hara yang tersedia dan dosis yang diberikan.

Media Tumbuh (Analisa Kesesuan Lahan)



Berdasarkan peta geologi, area calon lokasi kebun kelapa sawit dapat diketahui dari jenis batuan yang ada. Selanjutnya, area calon lokasi kebun kelapa sawit tersebut perlu diamati secara fisiografi (perbukitan, pegunungan, dataran, teras dan lainnya).
            Bentuk wilayah calon lokasi kebun diamati kontur tanahnya, datar atau berbukit. Pengamatan persentase kemiringan lereng dengan sebaran kelas kemiringan lereng perlu diperhitungkan dan gambaran umum topografi seluruh lahan perkebunan.
Status lahan calon lokasi kebun harus jelas. Bukan tanah hutan dan termasuk tanah adat, tanah desa, atau milik penduduk. Hasil pengamatan di lapangan, didukung peta tata guna lahan dapat menggambarkan tata guna lahan (penggunaan lahan yang ada di area calon lokasi kebun).
            Penyusunan peta tanah dilakukan melalui pengamatan terhadap keadaan tanah dengan melakukan pemboran dan pembuatan profil. Pengamatan tanah dilakukan dengan pertimbangan kondisi topografi serta sebaran calon lokasi kebun. Pengamatan tanah dengan bor dilakukan hingga kedalaman 120 cm. (sedalam mata bor) atau sampai dengan lahan induk (lahan yang terbentuk dengan proses alami, bukan karena endapan atau urugan). Sifat yang diamati meliputi kedalaman tanah, tekstur, warna tanah dan drainase. Pengamatan dilakukan menggunakan peralatan yang biasa digunakan untuk survei lahan dan analisis laboratorium.
            Pengamatan profil tanah dilakukan dengan penggalian lubang sampai kedalaman 150 cm. atau bahan induk (bahan batuan pembentuk tanah). Hal yang diamati adalah sifat dan ciri setiap lapisan tanah, antara lain warna, tekstur, konsistensi dan perakaran. Proses pembentukan tanah di area calon lokasi perlu dipelajari untuk mengetahui jenis tanah dan ciri-cirinya. Klasifikasi tanah di area calon lokasi kebun dapat diperoleh berdasarkan hasil pengamatan morfologi tanah di lapangan dengan sampel lokasi yang proporsional dan hasil analisa tanah di laboratorium dengan pengambilan sampel tanah. Tiap satuan peta tanah minimal diwakili oleh satu profil tanah, yang mencakup sifat dan data macam tanah, fisiografi, bentuk wilayah dan bahan induk.
            Kelapa sawit dapat tumbuh diberbagai jenis tanah antara lain: Tanah Podsolik Coklat, Podsolik Kuning, Podsolik Coklat Kekuningan, Podsolik Merah Kuning, Hidromorfik Kelabu, Alluvial, Regosol, Gley Humik, Organosol (Tanah Gambut).
Sifat fisik dan sifat kimia setiap jenis tanah memang berbeda-beda. Oleh karena itu tingkat produksi setiap jenis tanah juga berbeda. Bagi tanaman kelapa sawit sifat fisik tanah lebih penting daripada sifat kesuburan kimiawinya, karena kekurangan suatu unsur hara dapat diatasi dengan pemupukan.
            Tanah Podsolik Merah Kuning termasuk tanah yang subur dan cocok untuk tanaman kelapa sawit. Jenis-jenis tanah demikian banyak dijumpai di perkebunan kelapa sawit di Sumatera Timur dan Aceh. Sedangkan Tanah Podsolik Kuning termasuk miskin hara terutama fosfat dan magnesium.
            Penyusunan peta bentuk wilayah atau lereng dilakukan melalui pengamatan lereng bersamaan dengan pengamatan tanah di lapangan dengan menggunakan klinometer dan kompas. Saat yang sama juga dilakukan pengamatan vegetasi atau penggunaan lahan yang datanya diperlukan untuk menyusun peta penggunaan lahan.