Tanaman kelapa sawit dengan bahasa latin Elais Quineensis
Jacg merupakan salah satu tanaman liar yang tumbuh di Afrika Barat. di antara Angola dan Gambia,
sementara Kelapa Sawit dari , Elaeis oleifera, berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Tanaman
ini masuk ke Indonesia pada jaman colonial Belanda. Dalam perkembangannya 100
tahun di Indonesia, tanaman ini telah membawa banyak manfaat bagi Indonesia.
Melalui kelapa sawit, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dan juga terkenal
di dunia sebagai pengekspor terbesar crude palm oil (CPO).
Kelapa sawit
pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial belanda pada
tahun 1848. Ketika itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari
Mauritius dan amsterdam untuk ditanam di kebun raya bogor. Pada tahun 1911 kelapa sawit di Indonesia pertama kali di
tanam secara komersial oleh warga negara Belgia, Adrien Hallet dan K Schadt.
Catatan paling awal mengenai
introduksi kelapa sawit ke Indonesia (dahulu disebut Netherlands India atau
Hindia Belanda) tercantum dalam Hunger (1917), Rutgers et al. (1922) dan Hunger
(1924) yang menyebutkan bahwa terdapat empat bibit kelapa sawit yang
ditanam di Buitenzorg
Botanical Garden (Kebun Raya Bogor) pada tahun 1848. Dari empat
bibit tersebut, dua bibit diintroduksi dari Bourbon atau Mauritius pada
Februari 1848 oleh D.T
Pryce (Gambar 2), sementara dua bibit yang lainnya diintroduksi
dari Amsterdam pada Maret 1848. Rutgers et al. (1922) menduga bahwa bibit dari
Amsterdam juga berasal dari kelompok yang sama dengan bibit yang berasal dari
Bourbon.
Laporan resmi pertama mengenai
tanaman kelapa sawit yang diintroduksi oleh D.T. Pryce di Bogor ditulis pada 23
Maret 1850 oleh J.E.
Teysmann (Gambar 3), seorang pengawas Pemerintahan (Intendant
Gouvernements-hotels), yang isinya sebagai berikut: ‘Elaeis guineensis dari Hortus Botanicus Amsterdam
yang dibawa oleh D.T. Pryce telah diterima. Palma ini merupakan tanaman yang
menghasilkan minyak (Hunger, 1924)
Pada 1 Maret 1853, Teysmann
kembali menulis laporan:‘Elaeis
guineensis yang telah
dilaporkan sebelumnya, telah menghasilkan bunga dan ditemukan bahwa dua tanaman
yang berasal dari Bourbon keduanya berbunga jantan, tetapi dua tanaman lainnya
yang berasal dari Hortus Botanicus Amsterdam keduanya berbunga betina. Tanaman
yang terakhir akan segera menghasilkan buah’ (Hunger, 1924).
Pada Maret 1856, Teysmann
menuliskan laporan tentang kelapa sawit di Kebun Raya Bogor sebagai berikut: “Tanaman Elaeis
guineensis yang
sebelumnya hanya menghasilkan bunga jantan atau bunga betina, pada akhirnya
menghasilkan bunga jantan dan bunga betina. Telah diperoleh banyak buah dari
tanaman-tanaman tersebut, yang sebagian buahnya direbus untuk diambil
minyaknya, dan sebagian buah digunakan untuk reproduksi. Namun demikian, belum
diketahui apakah tanaman ini akan produktif dalam menghasilkan minyak,
sebagaimana halnya tanaman kelapa, palma yang paling bermanfaat yang telah
menyebar secara luas” (Hunger, 1924).
Buah kelapa sawit yang dipanen
dari empat dura tersebut (sesuai laporan Teysmann) didistribusikan secara
gratis ke berbagai wilayah pada tahun 1853 (Rutgers et al, 1922). Pada
tahun 1858, Sekretaris Kantor Kolonial (the Secretary of the Colonial Office)
di Hindia Belanda mengajak Pemerintah Negara Belanda untuk menjajaki
kemungkinan penanaman kelapa sawit di Indonesia. Sebanyak 146 lot benih kelapa
sawit didistribusikan ke: (i) Jawa dan Madura (mencakup Bagelen, Banyumas,
Banyuwangi, Bantam, Batavia, Besuki, Cirebon, Yogyakarta, Jepara, Kediri, Kedu,
Madiun, Madura, Pasuruan, Pekalongan, Priangan, Probolinggo, Rembang, Semarang,
Surabaya, Surakarta, Tegal), (ii) Sumatera (Bengkulu, Lampung, Palembang,
Sumatera Timur, Sumatera Barat, Tapanuli, Riau), (iii) Kalimantan, (iv)
Sulawesi, (v) Maluku, (vi) Nusa Tenggara.
Pada 1878, Direktur Kebun Raya
Bogor merancang sebuah plot percobaan kelapa sawit seluas 1 acre (0.4 ha) di
Economic Garden, Bogor. Kelapa sawit yang ditanam di Economic Garden ini
diduga menjadi sumber kelapa sawit yang ditanam di perkebunan tembakau di
Sumatra. Menurut Rutgers et al (1922) kelapa sawit diketahuiditanamdi perkebunan
tembakau dekat Medan, dimana pengelola perkebunan menggunakan tanaman kelapa
sawit sebagai tanaman hias di pinggir-pinggir jalan menuju bungalow dan gedung
pusat. Tanaman paling tua diketahui berada di St. Cyr Estate yang ditanam pada
1884 dan Bekala Estate yang ditanam pada 1888. Selain itu, terdapat juga pohon
kelapa sawit yang ditanam di St. Cyr Estate dan Bekala Estate pada 1898,
di Morawa Estate pada 1898 dan 1903, serta di perkebunan Medan, Polonia,
Sei Sikambing, dan Roterdam.
Kurangnya publikasi mengenai
kegunaan kelapa sawit pada masa tersebut menyebabkan tidak adanya industri
perkebunan kelapa sawit sebelum tahun 1911. Ketidaktertarikan untuk
mengusahakan kelapa sawit dikarenakan ketiadaan industri pengolahan dan pada
saat itu kelapa sawit tidak dapat berkompetisi dengan tanaman kelapa. Meskipun
hasil pengujian di plot-plot percobaan menunjukkan hasil yang sangat baik,
tetapi pengembangan kelapa sawit pada skala ekonomi pada masa itu tidak segera
dikembangkan oleh Pemerintah Belanda. Dr Hunger dalam tulisannya mengenai
sejarah kelapa sawit menyampaikan opini bahwa kegagalan dalam pengembangan
kelapa sawit di Jawa lebih karena sikap dari otoritas lokal yang tidak memiliki
antusias untuk mengembangkan lebih lanjut, dan menghentikan percobaan kelapa
sawit sesegera mungkin.
Sebelum tahun 1860 sekitar 3.4 ha
areal percobaan kelapa sawit dibangun di Banyumas dan 0.74 ha dibangun di
Palembang (Rutgers, 1924). Selama periode 1859 – 1864, pengeluaran
tahunan dibuat untuk pemeliharaan percobaan ini. Pada tahun 1864, percobaan
kelapa sawit di Banyumas dan Palembang dihentikan. Laporan resmi menyatakan
bahwa tanaman kelapa sawit di kebun percobaan tumbuh lebih baik dibandingkan
dengan pertumbuhan di tempat asalnya, dan tanaman mulai menghasilkan buah pada
umur 4 tahun, lebih cepat dibandingkan di tempat asalnya yang memerlukan waktu
6-7 tahun untuk berbuah. Tanaman kelapa sawit tidak hanya diujicobakan di
wilayah Banyumas dan Palembang, tetapi juga ditanam di residen lainnya, seperti
di Residen Priangan. Beberapa perkebunan swasta juga mengujicobakan tanaman
kelapa sawit di wilayah Pamanukan dan Ciasem, Cikandi Udik, Ciomas dan beberapa
tempat lainnya.
Pada 1875, benih kelapa sawit
yang berasal dari Kebun Raya Bogor ditanam di Distrik Deli Sumatera. Empat
tahun kemudian pada 1879, J. Krol, Kepala Deli
Maaatschappij melaporkan ke Kebun Raya Bogor bahwa kelapa sawit
yang ditanam di Distrik Deli tumbuh dengan sangat baik (Rutgers et al., 1922).
Perkebunan kelapa sawit pertama
berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal
perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera
Utara dan di Rantau Panjang, Kuala
Selangor, Malaya
pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang
Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di
Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun
1910, juga mereka menanam di
Tanah Itam Ulu dan Pulau Raja di Sumatera Utara serta di Sungai Liput, Aceh
Tamiang, Aceh.
Sejak saat itu
perkebunan kelapa sawit di Indonesia dahulu bernama Hindia Belanda mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit
pertama berlokasi dipantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal
perkebunannya saat itu sebesar 5.123 ha.Indonesia mulai mengekspor minyak sawit
pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa, kemudian di tahun 1923
mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton.
Awal Pengembangan Kelapa Sawit di
Indonesia (1911 – 1945)
Tonggak pengembangan kelapa sawit
di Indonesia pada skala ekonomi dibangun oleh M. Adrien Hallet, seorang warga
negara Belgia. Berbekal pengetahuan tentang kelapa sawit yang didapat dari
Kongo – Afrika, dan melihat pertumbuhan kelapa sawit yang baik sebagai tanaman
hias di Sumatera, Hallet membangun perkebunan kelapa sawit pertama seluas 6500
acre (~ 2630 ha) pada 1911 di wilayah Sumatera bagian Timur mencakup Pulu Raja
(Asahan) dan Sungai Liput (Aceh) dengan menggunakan bahan tanaman orijin Deli.
Pada saat yang bersamaan, K. Schadt, warga negara Jerman, menanam 2000 bibit
kelapa sawit di Tanah Itam Ulu. Di tahun-tahun berikutnya, kelapa sawit ditanam
di setiap wilayah yang berdekatan dengan distrik-distrik tersebut.
Perang dunia pertama mempengaruhi
perkembangan luas areal kelapa sawit. Hingga 1917, luas perkebunan kelapa sawit
di Sumatera masih sekitar 1.605 ha. Setelah perang dunia pertama, industri
kelapa sawit berkembang cukup pesat. Pada tahun 1918 terdapat 2.100 ha kebun
kelapa sawit yang dikelola oleh 19 kebun. Pabrik kelapa sawit (PKS) pertama
dibangun di Sungei Liput pada tahun 1918.
Pada tahun 1922, jumlah
perkebunan yang mengelola kelapa sawit mencapai 25 maskapai di Sumatera Timur,
delapan maskapai di Aceh, dan satu maskapai di Sumatera Selatan dengan total
luas area sekitar 6.916 ha dan meningkat menjadi 31.600 ha pada tahun 1925
(Hartley, 1977). Pada tahun 1938, perkebunan kelapa sawit di Sumatera
mencapai luasan 90.000 ha (Moll, 1987), dan terus meningkat menjadi 100.000 ha
pada 1939 yang dikelola oleh 66 kebun (Lubis, 1992).
Pada masa penjajahan Jepang 1942
– 1945, banyak perkebunan kelapa sawit yang diganti dengan tanaman pangan dan
pabrik kelapa sawit dihentikan kegiatannya (Lubis, 1992). Setelah
kemerdekaan, pada tahun 1947 kebun-kebun tersebut dikembalikan ke pemiliknya
semula. Setelah direinventarisasi hanya 47 kebun saja yang dapat dibangun
kembali dari 66 kebun sebelumnya. Beberapa kebun mengalami kehancuran
total seperti Kebun Taba Pingin dan Kebun Oud Wassenar di Sumatera Selatan,
Kebun Ophir di Sumatera Barat, Kebun Karang Inou di Aceh dan beberapa kebun di
Riau (Lubis, 1992).
Perkembangan
Kelapa Sawit Pasca Kemerdekaan
Perkembangan
luas areal kelapa sawit setelah masa penjajahan Jepang hingga tahun 1969 hanya
mengalami peningkatan sekitar 10.000 ha. Pada masa setelah kemerdekaan, terjadi
stagnasi dan situasi politik sangat tidak mendukung perkembangan industri
kelapa sawit di Indonesia. Namun demikian, beberapa hal yang dicatat pada
periode peralihan 1957 – 1968 sebagai berikut (Lubis, 1992):
- Pemerintah Indonesia mengambil alih atau nasionalisasi perusahaan Belanda pada 10 Desember 1957. Hal ini dilakukan sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 229/UM/1957
- Pengembalian perusahaan milik Inggris, Perancis, Belgia dan Amerika kepada pemiliknya masing-masing pada 19 Desember 1967
- Reorganisasi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP), melalui penggabungan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) pada 1961-1962.
- Pembentukan organisasi baru berdasarkan komoditas, yakni karet, aneka tanaman, tembakau, gula dan serat pada 1963 – 1968, yang disusul dengan pembentukan PT. Perkebunan (PTP).
Pulihnya
keamanan dan politik setelah gerakan G30S/PKI serta semangat membangun
dari Pemerintahan Orde Baru banyak mengundang perhatian investor asing
seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank untuk berkontribusi dalam pembangunan
perkebunan. Pada masa Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I yang dimulai pada 1968,
pembukaan areal kelapa sawit dilakukan di luar wilayah tradisional. Dalam
upaya pengembangan perkebunan besar swasta, Direktorat Jenderal Perkebunan
menyusun kebijakan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) melalui mekanisme
kredit pada tahun 1977. Skema PBSN berjalan cukup baik dalam tiga tahap, yakni
PBSN I pada 1977 – 1981, PBSN II 1981 – 1986, dan PBSN III pada 1986 – 1989
(Lubis, 1992).
Hingga
saat ini Indonesia menjadi Negara palng luas perkebunan kelapa sawitnya bahkan
produksi CPO nya harus dilakukan proteksi oleh Negara Negara Uni Eropa dan
Amerika agar CPO Indonesia tidak mmbanjiri dunia karena minyak nabati yang dihasilkan
oleh Uni Eropa dan Amerika kalah bersaing harga dengan CPO yang relaitif lebih
murah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar yang sifatnya membangun