Selasa, 23 Januari 2018

Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia


Tanaman kelapa sawit dengan bahasa latin Elais Quineensis Jacg merupakan salah satu tanaman liar yang tumbuh di Afrika Barat. di antara Angola dan  Gambia,  sementara  Kelapa Sawit dari , Elaeis oleifera, berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Tanaman ini masuk ke Indonesia pada jaman colonial Belanda. Dalam perkembangannya 100 tahun di Indonesia, tanaman ini telah membawa banyak manfaat bagi Indonesia. Melalui kelapa sawit, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dan juga terkenal di dunia sebagai pengekspor terbesar crude palm oil (CPO).
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan amsterdam untuk ditanam di kebun raya bogor. Pada tahun 1911 kelapa sawit di Indonesia pertama kali di tanam secara komersial oleh warga negara Belgia, Adrien Hallet dan K Schadt.
Catatan paling awal mengenai introduksi kelapa sawit ke Indonesia (dahulu disebut Netherlands India atau Hindia Belanda) tercantum dalam Hunger (1917), Rutgers et al. (1922) dan Hunger (1924)  yang menyebutkan bahwa terdapat empat bibit kelapa sawit yang ditanam di Buitenzorg Botanical Garden (Kebun Raya Bogor) pada tahun 1848. Dari empat bibit tersebut, dua bibit diintroduksi dari Bourbon atau Mauritius pada Februari 1848 oleh D.T Pryce (Gambar 2), sementara dua bibit yang lainnya diintroduksi dari Amsterdam pada Maret 1848. Rutgers et al. (1922) menduga bahwa bibit dari Amsterdam juga berasal dari kelompok yang sama dengan bibit yang berasal dari Bourbon.

Laporan resmi pertama mengenai tanaman kelapa sawit yang diintroduksi oleh D.T. Pryce di Bogor ditulis pada 23 Maret 1850 oleh J.E. Teysmann (Gambar 3), seorang pengawas Pemerintahan (Intendant Gouvernements-hotels), yang isinya sebagai berikut: ‘Elaeis guineensis dari Hortus Botanicus Amsterdam yang dibawa oleh D.T. Pryce telah diterima. Palma ini merupakan tanaman yang menghasilkan minyak (Hunger, 1924)
Pada 1 Maret 1853, Teysmann kembali menulis laporan:Elaeis guineensis yang telah dilaporkan sebelumnya, telah menghasilkan bunga dan ditemukan bahwa dua tanaman yang berasal dari Bourbon keduanya berbunga jantan, tetapi dua tanaman lainnya yang berasal dari Hortus Botanicus Amsterdam keduanya berbunga betina. Tanaman yang terakhir akan segera menghasilkan buah’ (Hunger, 1924).
Pada Maret 1856, Teysmann menuliskan laporan tentang kelapa sawit di Kebun Raya Bogor sebagai berikut: “Tanaman Elaeis guineensis yang sebelumnya hanya menghasilkan bunga jantan atau bunga betina, pada akhirnya menghasilkan bunga jantan dan bunga betina. Telah diperoleh banyak buah dari tanaman-tanaman tersebut, yang sebagian buahnya direbus untuk diambil minyaknya, dan sebagian buah digunakan untuk reproduksi. Namun demikian, belum diketahui apakah tanaman ini akan produktif dalam menghasilkan minyak, sebagaimana halnya tanaman kelapa, palma yang paling bermanfaat yang telah menyebar secara luas” (Hunger, 1924).
Buah kelapa sawit yang dipanen dari empat dura tersebut (sesuai laporan Teysmann) didistribusikan secara gratis ke berbagai wilayah pada tahun 1853 (Rutgers et al, 1922). Pada tahun 1858, Sekretaris Kantor Kolonial (the Secretary of the Colonial Office) di Hindia Belanda mengajak Pemerintah Negara Belanda untuk menjajaki kemungkinan penanaman kelapa sawit di Indonesia. Sebanyak 146 lot benih kelapa sawit didistribusikan ke: (i) Jawa dan Madura (mencakup Bagelen, Banyumas, Banyuwangi, Bantam, Batavia, Besuki, Cirebon, Yogyakarta, Jepara, Kediri, Kedu, Madiun, Madura, Pasuruan, Pekalongan, Priangan, Probolinggo, Rembang, Semarang, Surabaya, Surakarta, Tegal), (ii) Sumatera (Bengkulu, Lampung, Palembang, Sumatera Timur, Sumatera Barat, Tapanuli, Riau), (iii) Kalimantan, (iv) Sulawesi, (v) Maluku, (vi) Nusa Tenggara.

Pada 1878, Direktur Kebun Raya Bogor merancang sebuah plot percobaan kelapa sawit seluas 1 acre (0.4 ha) di Economic Garden, Bogor.  Kelapa sawit yang ditanam di Economic Garden ini diduga menjadi sumber kelapa sawit yang ditanam di perkebunan tembakau di Sumatra. Menurut Rutgers et al (1922) kelapa sawit diketahuiditanamdi perkebunan tembakau dekat Medan, dimana pengelola perkebunan menggunakan tanaman kelapa sawit sebagai tanaman hias di pinggir-pinggir jalan menuju bungalow dan gedung pusat. Tanaman paling tua diketahui berada di St. Cyr Estate yang ditanam pada 1884 dan Bekala Estate yang ditanam pada 1888. Selain itu, terdapat juga pohon kelapa sawit yang ditanam di St. Cyr Estate dan Bekala Estate pada 1898,  di Morawa Estate pada  1898 dan 1903, serta di perkebunan Medan, Polonia, Sei Sikambing, dan Roterdam.
Kurangnya publikasi mengenai kegunaan kelapa sawit pada masa tersebut menyebabkan tidak adanya industri perkebunan kelapa sawit sebelum tahun 1911. Ketidaktertarikan untuk mengusahakan kelapa sawit dikarenakan ketiadaan industri pengolahan dan pada saat itu kelapa sawit tidak dapat berkompetisi dengan tanaman kelapa. Meskipun hasil pengujian di plot-plot percobaan menunjukkan hasil yang sangat baik, tetapi pengembangan kelapa sawit pada skala ekonomi pada masa itu tidak segera dikembangkan oleh Pemerintah Belanda.  Dr Hunger dalam tulisannya mengenai sejarah kelapa sawit menyampaikan opini bahwa kegagalan dalam pengembangan kelapa sawit di Jawa lebih karena sikap dari otoritas lokal yang tidak memiliki antusias untuk mengembangkan lebih lanjut, dan menghentikan percobaan kelapa sawit sesegera mungkin.

Sebelum tahun 1860 sekitar 3.4 ha areal percobaan kelapa sawit dibangun di Banyumas dan 0.74 ha dibangun di Palembang (Rutgers, 1924).  Selama periode 1859 – 1864, pengeluaran tahunan dibuat untuk pemeliharaan percobaan ini. Pada tahun 1864, percobaan kelapa sawit di Banyumas dan Palembang dihentikan. Laporan resmi menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit di kebun percobaan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan di tempat asalnya, dan tanaman mulai menghasilkan buah pada umur 4 tahun, lebih cepat dibandingkan di tempat asalnya yang memerlukan waktu 6-7 tahun untuk berbuah. Tanaman kelapa sawit tidak hanya diujicobakan di wilayah Banyumas dan Palembang, tetapi juga ditanam di residen lainnya, seperti di Residen Priangan. Beberapa perkebunan swasta juga mengujicobakan tanaman kelapa sawit di wilayah Pamanukan dan Ciasem, Cikandi Udik, Ciomas dan beberapa tempat lainnya.
Pada 1875, benih kelapa sawit yang berasal dari Kebun Raya Bogor ditanam di Distrik Deli Sumatera. Empat tahun kemudian pada 1879, J. Krol, Kepala Deli Maaatschappij melaporkan ke Kebun Raya Bogor bahwa kelapa sawit yang ditanam di Distrik Deli tumbuh dengan sangat baik (Rutgers et al., 1922).
Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910, juga mereka menanam di Tanah Itam Ulu dan Pulau Raja di Sumatera Utara serta di Sungai Liput, Aceh Tamiang, Aceh.
Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia dahulu bernama Hindia Belanda  mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi dipantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya saat itu sebesar 5.123 ha.Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa, kemudian di tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton.
Awal Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia (1911 – 1945)
Tonggak pengembangan kelapa sawit di Indonesia pada skala ekonomi dibangun oleh M. Adrien Hallet, seorang warga negara Belgia. Berbekal pengetahuan tentang kelapa sawit yang didapat dari Kongo – Afrika, dan melihat pertumbuhan kelapa sawit yang baik sebagai tanaman hias di Sumatera, Hallet membangun perkebunan kelapa sawit pertama seluas 6500 acre (~ 2630 ha) pada 1911 di wilayah Sumatera bagian Timur mencakup Pulu Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh) dengan menggunakan bahan tanaman orijin Deli. Pada saat yang bersamaan, K. Schadt, warga negara Jerman, menanam 2000 bibit kelapa sawit di Tanah Itam Ulu. Di tahun-tahun berikutnya, kelapa sawit ditanam di setiap wilayah yang berdekatan dengan distrik-distrik tersebut.
Perang dunia pertama mempengaruhi perkembangan luas areal kelapa sawit. Hingga 1917, luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera masih sekitar 1.605 ha. Setelah perang dunia pertama, industri kelapa sawit berkembang cukup pesat. Pada tahun 1918 terdapat 2.100 ha kebun kelapa sawit yang dikelola oleh 19 kebun. Pabrik kelapa sawit (PKS) pertama dibangun di Sungei Liput pada tahun 1918.
Pada tahun 1922, jumlah perkebunan yang mengelola kelapa sawit mencapai 25 maskapai di Sumatera Timur, delapan maskapai di Aceh, dan satu maskapai di Sumatera Selatan dengan total luas area sekitar 6.916 ha dan meningkat menjadi 31.600 ha pada tahun 1925 (Hartley, 1977).  Pada tahun 1938, perkebunan kelapa sawit di Sumatera mencapai luasan 90.000 ha (Moll, 1987), dan terus meningkat menjadi 100.000 ha pada 1939 yang dikelola oleh 66 kebun (Lubis, 1992).
Pada masa penjajahan Jepang 1942 – 1945, banyak perkebunan kelapa sawit yang diganti dengan tanaman pangan dan pabrik kelapa sawit dihentikan  kegiatannya (Lubis, 1992). Setelah kemerdekaan, pada tahun 1947 kebun-kebun tersebut dikembalikan ke pemiliknya semula. Setelah direinventarisasi hanya 47 kebun saja yang dapat dibangun  kembali  dari 66 kebun sebelumnya. Beberapa kebun mengalami kehancuran total seperti Kebun Taba Pingin dan Kebun Oud Wassenar di Sumatera Selatan, Kebun Ophir di Sumatera Barat, Kebun Karang Inou di Aceh dan beberapa kebun di Riau (Lubis, 1992).
Perkembangan Kelapa Sawit Pasca Kemerdekaan
Perkembangan luas areal kelapa sawit setelah masa penjajahan Jepang hingga tahun 1969 hanya mengalami peningkatan sekitar 10.000 ha. Pada masa setelah kemerdekaan, terjadi stagnasi dan situasi politik sangat tidak mendukung perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia. Namun demikian, beberapa hal yang dicatat pada periode peralihan 1957 – 1968 sebagai berikut (Lubis, 1992):
  1. Pemerintah Indonesia mengambil alih atau nasionalisasi perusahaan Belanda pada 10 Desember 1957. Hal ini dilakukan sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 229/UM/1957
  2. Pengembalian perusahaan milik Inggris, Perancis, Belgia dan Amerika kepada pemiliknya masing-masing pada 19 Desember 1967
  3. Reorganisasi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP), melalui penggabungan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) pada 1961-1962.
  4. Pembentukan organisasi baru berdasarkan komoditas, yakni karet, aneka tanaman, tembakau, gula dan serat pada 1963 – 1968, yang disusul dengan pembentukan PT. Perkebunan (PTP).
Pulihnya keamanan dan politik setelah gerakan G30S/PKI serta semangat membangun dari  Pemerintahan Orde Baru banyak mengundang perhatian investor asing seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank untuk berkontribusi dalam pembangunan perkebunan. Pada masa Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I yang dimulai pada 1968, pembukaan areal kelapa sawit dilakukan di luar wilayah tradisional.  Dalam upaya pengembangan perkebunan besar swasta, Direktorat Jenderal Perkebunan menyusun kebijakan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) melalui mekanisme kredit pada tahun 1977. Skema PBSN berjalan cukup baik dalam tiga tahap, yakni PBSN I pada 1977 – 1981, PBSN II 1981 – 1986, dan PBSN III pada 1986 – 1989 (Lubis, 1992).
Hingga saat ini Indonesia menjadi Negara palng luas perkebunan kelapa sawitnya bahkan produksi CPO nya harus dilakukan proteksi oleh Negara Negara Uni Eropa dan Amerika agar CPO Indonesia tidak mmbanjiri dunia karena minyak nabati yang dihasilkan oleh Uni Eropa dan Amerika kalah bersaing harga dengan CPO yang relaitif lebih murah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar yang sifatnya membangun