Jumat, 09 Februari 2018

Pola Kemitraan PIR


Kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) merupakan kemitraan perkebunan generasi pertama yang dimulai pada tahun 1980-an. Program PIR merupakan pola pengembangan perkebunan rakyat dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti dan sekaligus sebagai pelaksana pengembangan kebun plasma. Pola ini awalnya dibangun Perusahaan Perkebunan Negara untuk masyarakat di wilayah pedesaan.

Dalam pola ini, perkebunan besar membangun kebun inti, pabrik, lalu membangun plasma. Secara rinci, pekerjaan pembangunan program PIR meliputi tiga tahap. Tahap pertama, perusahaan inti melaksanakan pembangunan kebun. Pada tahap kedua, dilakukan pengalihan kebun kepada petani plasma dan akad kredit konversi. Selanjutnya, tahap ketiga dilakukan pengembalian atau pelunasan kredit (hutang petani).

Tanaman kelapa sawit dikonversi kepada masyarakat (petani plasma) setelah dirasakan cukup menghasilkan, disertai tanggung jawab untuk memelihara kebun dan mengelola usaha taninya. Petani plasma yang diberi tanggung jawab untuk mengembalikan kredit investasi pembangunan kebun plasma kepada pihak perbankan.

Program PIR sangat baik dan bermanfaat bagi masyarakat, setidaknya mampu membuka isolasi wilayah dengan dibangunnya jalur transportasi. Program PIR telah mampu menggerakkan perekonomian di daerah pedalaman karena berputarnya uang dalam jumlah besar. Namun di lapangan, program PIR banyak menghadapi kendala, baik kendala teknis budidaya perawatan kebun maupun kendala non-teknis seperti manajemen usaha tani dan manajemen ekonomi rumah tangga petani.

Permasalah teknis yang menonjol dari program PIR adalah kondisi tanaman yang populasinya tidak penuh (kerapatan tanaman dibawah standar, kurang dari 136 pohon per hektare-nya) dan Pertumbuhannya tidak standar. Hal ini mengakibatkan produktivitas rendah dan terus merosot (kurang dari 12 ton per hektare per tahun). Ditambah lagi dengan perilaku petani yang kadang tidak sesuai aturan teknis budidaya tanaman.

Produktivitas kebun plasma yang rendah menyebabkan PKS  kekurangan bahan baku. Akibatnya, PKS terpaksa mengurangi waktu pengolahan dan terkadang terpaksa mengurangi karyawan. Selain itu, kualitas TBS petani yang rendah (rendemen minyak dibawah 20%) menyebabkan pendapatan petani kurang dan tidak mampu membiayai pemeliharaan kebun dengan baik.Sementara itu, permasalahan non-teknis yang sering terjadi adalah macetnya pengembalian kredit dari petani. Secara tidak langsung masalah ini sebenarnya merupakan efek lanjut dari masalah teknis. Hasil kebun yang rendah mengakibatkan pendapatan petani berkurang dan tidak mampu membayar kredit. Bahkan tak jarang petani yang lebih memilih menjual kavelingnya atau menjual hasil kebunnya kepada pihak lain untuk menghindari pembayaran kredit. Selain karena faktor pendapatan petani, kredit macet disebabkan oleh kurangnya sosialisasi nilai kredit sehingga banyak petani yang tidak paham. Selain itu, mungkin juga disebabkan oleh pihak Perbankan atau perusahaan inti yang kurang aktif dalam melakukan penagihan.

Masalah-masalah yang terjadi di lapangan tersebut utamanya dipicu oleh kurangnya pembinaan dan pendampingan dari dinas (instansi) terkait maupun dari pihak perusahaan inti setelah kebun diserahkan kepada petani plasma. Ditambah lagi pendekatan perusahaan banyak hanya berorientasi kepada produksi. Nyatanya, dengan kurangnya pembinaan dan pendampingan menjadikan produktivitas kebun menurun. Pembinaan yang kurang menjadikan pemberdayaan tidak berjalan. Intensitas hubungan yang kurang menjadikan kesamaan persepsi tidak tercapai dan keharmonisan hubungan tidak dapat terwujud. Akhirnya, perusahaan dan petani mendapat kerugian.

Permasalahan kemitraan juga terjadi karena lemahnya peran kelembagaan petani, termasuk kelompok tani dan koperasi. Pembinaan dan pemberdayaan petani masih sangat kurang, akhirnya kelembagaan petani tidak berkembang dan kurang berfungsi sebagai penggerak dalam usaha tani. Selain itu, gaya hidup petani cenderung lebih kearah konsumtif sehingga pendapatan tidak menutup pengeluaran. Kadang-kadang masalah juga disebabkan karena perilaku dari pihak ketiga secara tidak bertanggung jawab memprovokasi dan menjadikan kondisi kemitraan menjadi kurang kondusif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar yang sifatnya membangun